Sesuai dengan tema Hari Guru Nasional tahun 2011 dan HUT PGRI
(Persatuan Guru Republik Indonesia) yang ke-66, yaitu: “Meningkatkan
Peran Strategis Guru untuk Membangun Karakter Bangsa”, maka penulis
mencoba menganalisis tema tersebut dalam sebuah tulisan dengan judul di
atas.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, Bab II
Pasal 3). Banyak faktor dalam pendidikan yang dapat menunjang terhadap
pencapaian fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Salah satu faktor yang
sangat penting dan dominan adalah faktor guru, sang pahlawan tanpa
tanda jasa. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi
peserta didik.
Peran pahlawan yang satu ini, tidak akan pernah habis-habisnya dan
selalu menarik serta aktual untuk selalu dikaji, diperbincangkan,
didiskusikan, bahkan diseminarkan. Apalagi dengan disahkannya
Undang-Undang Nomor: 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta sejak
digulirkannya program kualifikasi dan sertifikasi guru, sorotan tentang
guru semakin hari semakin hangat dan ramai. Profesi yang pada zaman
dahulu dicibiri dan kurang dihormati, kini malah menjadi sebuah profesi
yang ‘digandrungi’, diminati, bahkan sampai ’dicemburui’.
Berbondong-bondongnya orang untuk memasuki Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan di sebuah perguruan tinggi, yang notabene sebagai fakultas
pencetak guru, menjadi salah satu bukti nyata dan faktual semakin
dibutuhkannya profesi ‘oemar bakri’ ini. Betapa tidak, berasal dari
profesi gurulah muncul profesi-profesi lain. Saking bangganya terhadap
profesi guru ini, maka sangat pantas seorang Mantan Mendikbud era
Soeharto dulu, Daud Yusuf, pernah mengatakan bahwa di dunia ini hanya
ada dua profesi, yakni guru dan non guru.
Guru sebagai komponen utama pendidikan menempati posisi yang sangat
strategis, sentral, dan terhormat. Hal ini dikarenakan keluhuran dan
kemuliaan peran, tugas serta tanggung jawabnya yang berkaitan dengan
kepribadian anak didik. Hitam putihnya otak dan jiwa anak didik, salah
satunya sangat bergantung pada guru. Keberhasilan output dan outcome pendidikan
ditentukan oleh proses ‘racikan’ sosok guru. Pembelajaran yang bermutu
hanya bisa diraih jika sebuah lembaga pendidikan memiliki guru-guru yang
bermutu. Dengan kata lain kualitas pembelajaran akan banyak tergantung
dari kualitas gurunya.
Guru bukan hanya pengajar yang tugasnya menyampaikan sejumlah materi atau mata pelajaran di depan kelas (transfer of knowledge), tetapi lebih dari itu ia sebagai pen-transfer of value (penyampai nilai-nilai). Ia adalah sosok teladan (uswah) dan idaman anak didiknya. Guru harus merupakan insan kamil yang memiliki karakter baik sebagai cerminan dari ketakwaannya kepada Allah. Guru adalah bapak rohani atau spiritual father
bagi anak didiknya, yaitu memberikan santapan jiwa dengan ilmu dan
karakter. Dengan ilmu dan karakter yang dimilikinya diharapkan anak
didik mampu mencapai tingkat kedewasaan dan memiliki karakter yang kuat
dan tangguh sehingga menjadi manusia yang kelak mampu melaksanakan tugas
hidupnya sebagai khalifah di muka bumi dan sebagai hamba Allah yang
beriman dan beramal saleh.
Secara teologis guru dituntut memiliki berbagai karakter yang
mencerminkan sifat-sifat ketuhanan, walaupun dalam kadar dan ukuran
kemampuan manusiawinya. Secara filosofis, guru memiliki kedalaman makna
yang harus teraktualisasikan dalam segenap tutur kata dan perilakunya.
Secara keilmuan, guru dituntut mempunyai ilmu pengetahuan yang luas dan
mendalam.Adapun secara pragmatis, guru harus memiliki seperangkat
keterampilan dan mesti mendapatkan penghargaan yang sepadan dengan
pengabdiannya.
Kini pemerintah, melalui Kemendikbud dan Kemenag, sangat mengapresiasi
pengabdian seorang guru melalui peningkatan kesejahteraan mereka. Bagi
guru yang belum disertifikasi ada tambahan penghasilan tunjangan
fungsional dan bagi guru yang sudah disertifikasi ada tunjangan profesi.
Dengan adanya ‘penghargaan’ tersebut, saatnya bagi semua guru untuk
membuktikan kepada masyarakat bahwa dengan diperolehnya tunjangan
tersebut harus berbanding lurus dengan kemampuan atau kompetensi yang
dimiliki. Spirit untuk mengimplementasikan empat kompetensi keguruan
(pedagogik, profesional, sosial dan kepribadian) terus bergelora dalam
diri para guru. Dalam dirinya selalu ada motivasi untuk menjadi guru
yang bermutu, bukan guru yang ‘mati’.
Sudah saatnya para guru lebih banyak mengoleksi dan membaca banyak buku
di rumah. Sangat ideal dan wajar bila lebih banyak buku yang ada di
rumah daripada banyaknya barang-barang yang tidak berguna dan
berlebih-lebihan. Alangkah lebih bijak dan elegan jika uang hasil jerih
payah sertifikasi harus dimanfaatkan untuk peningkatan kompetensinya,
seperti: membeli laptop atau komputer dan belajar mengoperasikannya,
memasang internet, membeli buku-buku dan media-media lain sebagai
penunjang kompetensinya, tidak segan-segan dan tidak bosan-bosan untuk
mengikuti berbagai pelatihan guru, dan lain-lain.
Kita tidak mengharapkan terjadinya penurunan kompetensi dan
profesionalisme setelah guru tersebut disertifikasi. Guru yang
disertifikasi jangan sampai kalah kedisiplinan, kinerja, kemampuan dan
keterampilan mengajarnya oleh guru yang belum disertifikasi. Maka
rencana adanya program Audit Kinerja Guru (AKG) dan Penilaian Kinerja
Guru (PKG) yang akan digulirkan secara resmi oleh pemerintah merupakan
angin segar bagi para guru. Rencana ini perlu disikapi dengan baik,
bahagia dan positif, buktikan bahwa para guru siap menyongsong program
tersebut. Guru tidak usah shock atau kaget. Justru dengan
adanya AKG dan PKG mendorong mereka untuk lebih baik lagi dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab, lebih meningkatkan kualifikasi,
kompetensi, dan profesionalismenya, dan tentunya lebih tertantang untuk
mempersiapkan sejak dini segala sesuatu yang berkaitan dengan audit dan
penilaian itu.
0 komentar:
Posting Komentar